Bab 816
Bab 816
Selena mengemyit, satu–satunya yang membuatnya khawatir adalah Ravi.
Meskipun ada George, mereka kabur begitu terburu–buru dalam keadaan hujan deras, apa mungkin bisa
terjadi sesuatu?
Dia sangat paham bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa–apa meski merasa khawatir, karena situasinya telah mencapai titik ini, dia kembali ke Kota Arama pun tidak akan bisa menghubungi George dalam
waktu singkat.
“Baiklah, tinggal sebentar di sini.”
Si kecil berada di tangan Selena, George pasti akan mencoba menghubungi dia secara aktif, yang lebih
penting adalah kesehatannya.
Luna adalah anak yang sangat penurut, tahan rasa sakit dan penderitaan, selain itu tidak pemilih
makanan sama sekali, tidak memiliki sifat manja dan rewel yang seharusnya dimiliki oleh anak
seusianya.
Setiap hari Selena menghabiskan waktu bersamanya, meskipun dia sangat bahagia, lebih banyak
merasa iba.
Kesedihan di balik anak yang berperilaku patuh sangat jelas terlihat, bagaimana dia bisa begitu peka
tanpa melalui kesulitan? NôvelDrama.Org owns all © content.
Makin besar penderitaan yang dialami, anak–anak akan makin menjadi lebih patuh.
Selena tidak ada niat menyalahkan George. Dia sangat berterima kasih pada George karena bisa menyelamatkan anaknya. Sulit bagi Selena untuk membesarkan dua anak seorang diri.
Dia hanya merasa kasihan pada nasib anak–anaknya yang harus berpisah dengan orang tuanya sejak
kecil
Kelak setiap harinya, dia akan lebih berusaha untuk merawat anak–anak.
“Ibu.” Si kecil melihat Selena kembali melamun. Dia mengulurkan tangannya sambil mengayunkannya di
depan mata Selena.
Selena baru saja tersadar dari lamunannya, “Ya, aku di sini.*
Dia mengulurkan tangan untuk mengelus lembut kepala Luna, bibirnya melengkung membentuk
senyuman penuh kasih sayang, “Kamu lapar?”
Luna pertama–tama melihat ekspresi Selena sekilas, seperti memastikan apakah dirinya tapar atau
tidak, dia tidak ingin menyusahkan Selena.
“Sayang, kalau kamu mau makan, makan saja. Jangan khawatir tentang yang lain. Kalau kamu lapar,
haus, kedinginan atau kepanasan, bilang saja pada Ibu. Kamu nggak lagi sendirian, kamu punya aku di
sini.”
Luna mengedipkan mata besarnya, sepertinya dia tidak terlalu paham.
“Maksud Ibu, kamu boleh menangis jika ingin menangis, boleh rewel jika ingin, itu termasuk naluri alami yang diberikan Tuhan kepada anak–anak, aku adalah Ibumu, apa pun yang kamu lakukan, aku akan
memanjakanmu dan mencintaimu, kamu boleh mengatakan apa yang kamu butuhkan dengan bebas.”
“Oke.”
Selena berucap dengan lembut, “Kamu bisa memberi tahu Ibu, apa makanan kesukaanmu.”
“Kue tart, sandwich, kue.”
Ini adalah pertama kalinya anak itu meminta sesuatu setelah beberapa hari bersama. Selena terkejut
bercampur senang, dia menyentuh hidung mancung milik Luna, “Anak baik, Ibu akan buatkan makanan,
ya?”
“Oke!”
Barulah si kecil menunjukkan kepolosan dan keceriaan yang khas pada usianya.
“Anak pintar, pergilah bermain sebentar dengan Paman Gio, Ibu hanya sebentar membuatnya.”
“Hm.”
Beberapa hari kemudian, Luna dan Gio juga menjadi akrab. Luna sendiri juga tidak tahu, kenapa dia
menyukai paman ini.
“Paman.”
Luna berlari menuju Gio sambil tersenyum. Dia berlari sangat cepat, sedangkan Harvey dengan cepat
berjongkok, membuka lengannya dan memeluk anak itu erat–erat.
“Pelan–pelan, nanti bisa jatuh.” Suaranya juga penuh dengan kelembutan.
“Oke.”
Selena membuat makanan ringan, lalu meletakkannya di atas meja di luar. Ketika matanya mendongak,
dia melihat Luna sedang menunggangi leher Harvey sambil bersorak, “Naik kuda besar, kendarai kuda
besar!”
Harvey dengan erat memegang tangan anak itu, membiarkannya bermain–main dengan bebas:
Di kejauhan terlihat air laut yang biru, angin laut bertiup ke wajah, pemandangan ini tampak indah dan
harmonis.
Namun, pemandangan ini justru membangkitkan sedikit kesedihan di dalam hati Selena.
Jika dia dan Harvey tidak mengalami hal–hal itu, dia juga bisa memberikan keluarga yang utuh untuk
anak–anaknya.
Sayang sekali, air yang tumpah sulit untuk dikumpulkan, anak–anak ditakdirkan untuk tidak memiliki ayah seumur hidup mereka.