Bab 160
Bab 160
Bab 160
Javier membawa Olivia kedalam kamarnya dan menonton video panda.
Olivia memakan puding stroberi dengan patuh, kakinya yang pendek sedikit bergoyang
Dia melirik panda besar yang ada di layar komputer, lalu melirik Javier yang kelihatan linglung, dia mengerutkan bibirnya dan berkata : “Kamu... kamu sepertinya...tidak terlalu senang?”
Javier mengerutkan kening, dan tidak mengatakan apa–apa.
Dulu dia dan Xavier juga sering merasa cemburu satu sama lain karena ingin membuat ibu mereka lebih bahagia dengan cara mereka masing masing, sekarang Oliver juga jelas ingin memonopoli ibu mereka, mana mungkin dia senang!
Olivia menyendokkan sesuap puding, dan mengarahkannya ke hadapan Javier.
“Senyum...senyum dulu...”
Javier memang menyiapkan puding untuk Olivia, tapi dia sendiri juga tidak terlalu suka.
Namun, saat melihat Olivia yang meletakkan puding di bibirnya dengan wajah tulus, dia tidak tega mengecewakannya.
Dia juga membuka mulutnya, dan memakan puding itu, lalu merasa suasana hatinya sedikit membaik.
Memang—-
Punya adik perempuan akan jauh lebih baik, seperti gumpalan kapas, yang imut dan hangat.
Tiba waktunya makan malam.
Karena dirumah kedatangan Oliver dan Olivia, lauk yang sudah disiapkan oleh Javier tidak cukup, jadi dia menambahkan beberapa potong mi instan untuk dimakan bersama.
Empat orang itu mengelilingi mi yang panas.
Dan melihat tiga anak itu makan hingga wajahnya memerah, Samara merasakan kehangatan yang teramat dalam hatinya. Belongs © to NôvelDrama.Org.
Apabila sepasang putra putri kembarnya masih hidup, maka pemandangan yang ada dihadapannya sekarang ini mungkin adalah rutinitas makan malam setiap harinya.
Samara memperhatikan ketiga anak kecil itu makan mi dengan bersemangat, tetapi dia sendiri makan sangat sedikit.
Melihat Samara yang tidak menggerakkan sumpitnya.
Javier dan Oliver sama–sama menjepitkan udang dan meletakkannya pada mangkuk Samara.
“Ibu, makanlah.”
“Samara, makanlah.”
Setelah kedua anak kecil itu selesai berbicara, mereka dikejutkan oleh tingkat sinkronisasi satu sama lain, dan kemudian saling memelototi satu sama lain.
“Ibu, makan punyaku.”
“Samara, makan punyaku.”
Melihat antusiasme dari kedua anak itu, Samara diam–diam mengambil dua ekor udang yang ada didalam mangkoknya, dan memindahkannya ke dalam mulutnya.
Dia, seorang orang dewasa berusia 24 tahun menjadi bahan rebutan dua anak berusia 5 tahun, membuatnya sedikit merasa bersalah.
Tapi—-
Kedua anak kecil ini tidak berhenti sampai disana, mereka masih bersaing secara pribadi.
Setelah memasukkan udang ke dalam mangkuk Samara, mereka mulai menambahkan daging suwir, dan kemudian sayuran, seolah–olah dia harus memutuskan pemenangnya.
Samara awalnya tidak mengatakan apapun dan memakannya.
Tetapi setelah melihat lauk yang ada di mangkuknya menjadi semakin tinggi dan semakin tinggi, dia akhirnya tidak tahan lagi dan berkata, “Javier, Oliver, cukup!”
Javier dan Oliver tidak saling menyukai, dan tidak ada yang mau menundukkan kepala mereka terlebih dulu.
“Kalian berdua, kemari.”
Dua anak itu tidak bergerak.
“Kalian yakin....” Samara menarik kalimatnya dengan panjang, “Tidak mau mendengarkan ucapanku?”
Seketika itu, Javier dan Oliver bergegas menghampiri sisi Samara.
Samara meraih tangan Javier, lalu meraih tangan Oliver dan menyalamkan kedua tangan mungil itu.
“Mulai sekarang kalian berdua harus berjabat tangan.” Samara tersenyum muram, “Setelah satu jam baru boleh dilepas, siapa yang melepasnya terlebih dulu, dia akan kalah, dan yang kalah tidak akan boleh berbicara lagi denganku.”
Javier dan Oliver baru ingin melepaskan tangan mereka.
Namun setelah mendengar ucapan Samara, mereka tidak berani melepasnya, sebaliknya, mereka menjabat tangan satu sama lain dengan erat.
Dua anak kecil itu merasa frustasi, wajah tembem berwarna merah muda mereka berkerut karena marah.
Namun apa yang bisa mereka lakukan?
Mereka tidak takut untuk berkelahi, tapi mereka takut Samara tidak mau menghiraukan mereka lagi.
Jabat saja!
Lagipula hanya satu jam, jabat saja.
Melihat ekspresi sedih dari dua pria kecil itu, membuat Samara tertawa kecil.
“Ting tong—–”
Bel pintu berbunyi, dan Samara bergegas membuka pintu.
Saat pintu terbuka.
Dia melihat wajah seorang pria yang sangat dingin, senyuman di wajah Samara seketika juga membeku.
“Kamu... kenapa kemari?”
Next Chapter