Bab 45
Bab 45 Disita Semua
“Tuan Ardika, itu hanya bercanda, bercanda ”
Jinto ketakutan setengah mati.
Ardika juga malas berdebat dengannya, dia berkata dengan nada dingin, “Kalau kalian ingin merobohkan rumah orang, kalian juga harus bersiap untuk dirobohkan Setelah ini, onha hitung semua hartamu, kemudian serahkan kepada Korps Taring Harimau ”
Abdul yang terkejut segera berkata, Tuan Tuan Ardika, sepertinya nggak pentas
“Nggak ada yang tak pantas Semua itu juga harta ilegal, jadi disita saja Kalau ada yang mempersulitmu karena hal ini, suruh dia datang cari aku,” kata Ardika dengan tegas sambil
mengayunkan tangannya
Abdul tidak berani melawan perintah Ardika lagi
Dia tahu Ardika pulang dari luar perbatasan
Itu adalah tempat yang kacau dan sama sekali berbeda dengan peraturan di Kota Banyuls
Wajah Jinto menjadi pucat karena terkejut.
Semua harta yang dia kumpulkan selama 20 tahun harus disita karena satu ucapan Ardík
Namun, Jinto tidak berani menolak
Ardika sudah berbaik hati dengan menyelamatkan hidupnya dari Korps Taring Harimau
“Setelah ini, aku akan menghitung semua hartaku dan menyerahkannya,” jawab Jinto dengan
patuh
Ardika pun mengangguk, kemudian bertanya lagi. “Siapa yang menyuruh kalian datang merebut
rumahku?”
“Lapor Tuan Ardika, Wisnu dari Keluarga Basagita Dia menghubungiku, kemudian memberikan 10 miliar dan menyuruhku untuk merebut rumah ini,” jawab Bambang
Jinto juga tidak berani merahasiakannya, dia segera berkata dengan jujur, Tuan Ardika, Budi juga menyuruhku datang Dia ingin membalaskan dendam anaknya”
“Jadi setelah ini, kamu masih mau mendengarkan perintahnya nggak?” tanya Ardika
Jinto yang ketakutan segera menjawab, “Nggak berani, nggak berani lagi
Meskipun dia tidak tahu identitas Ardika, Ardika bisa mendatangkan Korps Taring Harimau
dengan satu telepon Walaupun hari ini kebetulan Vila Cakrawala dijadikan area terlarang. Jinto
melihat jelas sikap Abdul yang hormat kepada Ardika Jadi, Jinto sama sekali nggak berani
mengganggu Ardika lagi.
Pergilah!
Setelah itu, Ardika pun melambaikan tangannya. Jinto segera berdiri dan membawa para anak buahnya untuk kabur dari sana.
Setelah Jinto dan yang lain pergi, Abdul juga membawa Korps Taring Harimau pergi.
Namun, ada satu tim yang ditinggalkan dan berjaga di luar Kompleks Vila Bumantara
Luna akhirnya menghela napas lega.
Dia pun memelototi Ardika.
“Ardika, sejak awal kamu sudah tahu kalau Komandan Draco mengubah tempat ini menjadi area terlarang, ‘kan? Kenapa nggak bilang dari awal? Sia–sia kami khawatir Ibu juga ketakutan setengah mati.”
Meskipun mengeluh, Luna tetap merasa senang.
Dengan begitu, mereka tidak perlu pindah rumah. Selain itu, tidak ada yang berani mengganggu kehidupan mereka lagi.
Ketika masuk ke dalam, Luna segera memberitahukan kabar baik ini kepada Jacky dan Desi.
Mereka juga sangat senang ketika mendengarnya.
Desi berkata dengan terharu, “Komandan Draco adalah bintang keberuntungan untuk keluarga kita. Kalau ada waktu, bawalah oleh–oleh untuk Komandan Draco.”
“Nggak perlu, itu tugas dia,” ucap Ardika.
“Ardika, kenapa kamu nggak tahu berterima kasih? Apanya tugas dia? Jangan bicara seperti itu,” ucap Desi dengan kesal sambil memukul Ardika.
Ardika yang tak berdaya pun terpaksa menyetujuinya.
Di saat yang sama, rumah Keluarga Basagita.
Yanto sekeluarga mengelilingi Tuan Besar Basagita dengan gembira.
Sebelumnya, Bambang menelepon Wisnu dan bilang akan kemari.
Mereka mengira Bambang sudah mengusir Luna dan keluarganya, jadi mereka tentu saja senang.
“Haha. Aku sudah bilang, kalau Bambang turun tangan, Luna dan keluarganya pasti harus pindah Kakek, nggak sia–sia 10 miliar yang kita keluarkan,” kata Wisnu dengan bangga.
Tugas kali ini membuat Wisnu semakin dihargai oleh kakeknya.
16 BONUS
Tentu saja Haha, aku sudah menyuruh pembantu untuk membereskan bajuku Setelah mereka pindah keluar, kita segera masuk.
Tuan Besar Basagita meraba jenggotnya dengan penuh semangat. Text content © NôvelDrama.Org.
Ada beberapa koper di samping meja. Selain punya Tuan Besar Basagita, Yanto dan keluarganya juga sudah membawa koper mereka.
“Kak Bambang sudah datang, aku akan pergi menjemputnya.”
Saat ini, Wisnu berdiri sambil memegang ponselnya. Dia pun berlari keluar dengan penuh
semangat.
Tak lama kemudian, dia kembali masuk ke dalam.
Tidak ada lagi ekspresi semangat seperti sebelumnya. Matanya memerah dan tampak sedih.
Kedua pipinya dipenuhi oleh bekas tamparan, tubuhnya juga dipenuhi bekas sepatu.
Jelas, Wisnu baru saja dihajar.
Di belakangnya ada Bambang yang tangannya patah dan beberapa anak buah dengan ekspresi
ganas.
Ketika melihat pemandangan seperti itu, semua orang langsung tahu ada yang salah.
Kenyataan berbeda dengan yang mereka bayangkan.