Menantu Pahlawan Negara

Bab 619



Bab 619 Mewaspadai Menantu Sendiri

Tanpa berpikir banyak dan tanpa mengangkat kepalanya, Luna bertanya, “Kalau malam ini kamu menginap di gunung, bagaimana kamu berangkat kerja besok?”

Dia tahu belakangan ini Ardika bekerja di Grup Bintang Darma.

Ardika berkata, “Nggak masalah. Elsy bertanggung jawab atas urusan di Grup Bintang Darma. Kalau aku nggak hadir satu hari, juga nggak masalah.”

“Sikapmu ini nggak benar. Bu Elsy membiarkanmu bekerja di sana karena mempertimbangkan kamu adalah sahabat Delvin. Seharusnya kamu bekerja dengan baik. Jadi, sebaiknya kamu meminta cuti darinya terlebih dahulu, jangan main bolos kerja saja.”

Luna menegur Ardika dengan ekspresi sangat serius.

“Oke, aku akan meminta cuti darinya.”

Ardika tidak berdaya, dia terpaksa menghubungi Elsy untuk meminta cuti.

Aku punya seorang teman saat aku duduk di bangku SMP yang bernama Cynthia Yasin. Dia adalah penanggung jawab Vila Bistani, aku akan menghubunginya untuk memesan sebuah kamar.

Selesai berbicara, Luna mengambil ponselnya dan menghubungi nomor temannya untuk memesan kamar.

“Pesan dua kamar!”

Tiba–tiba, Desi berjalan menghampiri putrinya dan Ardika. (1

Dia mengalihkan pandangannya ke arah Ardika dan menatap Ardika dengan sorot mata waspada.

Biarpun sudah meminta putrinya untuk memesan dua kamar, dia masih belum tenang. Dia segera memanggil Handoko, putranya..

“Handoko, kamu ikut bermain bersama kakakmu ke Vila Bistani satu hari.”

Menyadari kakak iparnya memelototinya, dia langsung bereaksi.

“Apa serunya bermain di atas gunung itu? Aku nggak berani mengendarai Ferrari 488-

sana, takut lecet.”

ku ke

$15 BONUS

Selesai berbicara, dia langsung melarikan diri.

“Kalau begitu, Futari, kamu temani Luna tidur pada malam hari.”

Setelah putranya melarikan diri, Desi memanggil Futari.

“Bibi, Kak Luna pergi ke sana dengan tujuan kerja. Aku terlalu bising, aku takut mengganggu tidurnya.” Content rights belong to NôvelDrama.Org.

Melihat ekspresi Ardika, Futari juga menggelengkan kepalanya, menolak permintaan bibinya.

Bagaimanapun juga, Luna dan Ardika sudah menikah, tetapi mereka masih tidur di kamar terpisah.

Dia bahkan merasa simpati pada Ardika.

Anak–anak muda itu benar–benar cerdas.

Luna saja tidak menyadari niat terselubung Ardika, tetapi hanya dengan sekali pandang saja, mereka sudah menyadari hal itu.

“Aku saja yang pergi! Aku akan menemani Kak Ardika tidur pada malam hari!”

Hariyo melenggang menghampiri mereka dengan santai, lalu memelototi Ardika dengan bangga.

Dia ingin membantu Xavier mengawasi dua orang ini dengan baik.

“Apa–apaan kamu?! Apa pekerjaan rumahmu nggak perlu dikerjakan lagi?!”

Futari menarik telinga adiknya, lalu membawa adiknya pergi.

“Ardika, aku peringatkan kamu, kalau sampai terjadi sesuatu pada Luna, awas saja kamu!”

Desi tidak berdaya, dia hanya bisa melontarkan peringatan tersebut kepada Ardika dengan tegas.

Ardika hanya menanggapi ancaman ibu mertuanya dengan “hmm” singkat.

Intinya dia sudah bebas, dia bisa melakukan apa saja sesuka hatinya.

Apa mungkin setelah tiba di atas Gunung Bistani, Desi masih bisa mengendalikannya? Tentu saja tidak!

Tak lama kemudian, Ardika dan Luna pun berangkat.

Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, mereka baru tiba di Vila Bistani.

Cynthia, teman Luna saat mereka masih duduk di bangku SMP menyambut kedatangan mereka.

“Luna, aku benar–benar minta maaf. Lokasi acara lelang tiba–tiba diganti di sini, jadi hari ini orang yang memesan kamar secara mendadak terlalu banyak.”

“Kalian memesan lima kamar, tapi hanya ada empat kamar yang tersedia.”

Karena permintaan dari Desi, Luna memesankan masing–masing satu kamar untuknya dan Ardika.

Sisa tiga kamar lagi dia pesan untuk karyawannya.

“Empat kamar juga nggak masalah.”

Luna menganggukkan kepalanya, wajahnya sedikit memerah.

Dia bukan wanita yang polos dan naif.

Dia menyadari kewaspadaan Desi terhadap Ardika, serta kebahagiaan dan semangat Ardika sepanjang perjalanan ke sini.

Bagaimana mungkin dia tidak mengerti apa yang akan terjadi kalau dia tinggal di dalam satu kamar yang sama dengan Ardika?

Namun, dalam lubuk hatinya, dia tidak mempermasalahkan hal tersebut.

“Oke, kalau begitu kalian bisa ke resepsionis untuk mengurus prosedur masuk kamar,” kata Cynthia. Dia berinisiatif membantu Luna mengambil kopernya.

Saat mereka sedang mengurus prosedur masuk kamar di resepsionis, sepasang pria dan wanita kebetulan baru masuk ke dalam vila dari luar.

Wanita itu mengenakan setelan formal dan kacamata hitam. Saat berjalan, pandangannya seolah tertuju ke atas.

Sementara itu, pria itu mengikutinya sekitar setengah langka di belakangnya dan memasang ekspresi menjilat.

Diam–diam, para staf di lobi merasa sangat terkejut.

Mereka sangat jarang melihat Wiliam Demode, manajer umum mereka bersikap merendah seperti itu pada seseorang, bahkan terkesan seperti sedang menjilat orang

tersebut.

Sambil berjalan, wanita itu bertanya, “Wiliam, aku dengar–dengar hari ini Vila Bistani sudah dibeli oleh orang kaya raya. Apa kamu tahu siapa bos baru kalian?”

“Aku masih belum tahu. Tadi aku baru menerima panggilan telepon yang mengatakan bahwa hari ini bos besar kami akan menginap di sini.”

Dengan seulas senyum hormat, Wiliam berkata, “Tapi, Wulan, sekarang kamu sendiri juga sudah merupakan orang kaya raya.”

“Dalam pembagian aset milik tiga keluarga besar kali ini, selain Keluarga Mahasura ibu kota provinsi, Keluarga Basagita yang melakukan paling banyak pembelian!”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.