Bab 162
Bab 162 Melia Lukito
“Suruh dia pergi, aku nggak mau bertemu dengannya!” kata Handoko dengan kesal.
Dia tidak ingin membiarkan Ardika masuk karena beranggapan Ardika hanya akan mempermalukannya.
Terutama dia tidak ingin dipermalukan di hadapan Melia, wanita yang disukainya.
Melia tersenyum dan berkata, “Handoko, kalau sampai kakakmu tahu kamu mengusir kakak iparmu, dia pasti akan sangat marah padamu.”
“Kak Melia, aku mengerti maksudmu.”
Handoko berkata, “Tapi, dia itu idiot. Aku takut kalau dia masuk, penyakitnya kumat lagi dan mengganggu bisnismu.”
Kelab Gloris adalah milik Melia.
Dia juga baru pertama kali diundang Melia untuk bersenang–senang di tempat ini.
Sejak memasuki tempat ini, dia melihat tempat ini didekorasi dengan sedemikian
rupa mewahnya. Para pelanggan di tempat ini memiliki status dan kedudukan yang
tinggi.
Dia sudah melihat beberapa wajah anggota keluarga kelas satu yang familier
baginya.
“Ah, nggak masalah. Biarpun hari ini kakak iparmu membuat keributan di Kelab
Gloris, dengan mempertimbangkan kamu, aku juga nggak akan mempersulitnya,
Handoko.”
Selesai berbicara, Melia berdiri, lalu mengulurkan jari–jari lentiknya dan menyentuh
wajah Handoko.
Kemudian, dia menoleh dan berkata kepada pelayan itu, “Persilakan Tuan Ardika
masuk.”
“Kak Melia, kamu benar–benar sangat baik padaku!”
Menghirup aroma khas wanita, jantung Handoko langsung berdebar kencang.
1/4
Apalagi setelah digoda secara tidak langsung oleh wanita itu, wajahnya langsung
sedikit memerah.
Kilatan bangga melintas di mata indah Melia.
Menggoda pemuda polos seperti Handoko adalah hal yang sangat mudah baginya. bahkan tanpa perlu mengeluarkan trik apa pun, pemuda polos seperti ini jatuh
dalam genggamannya.
Jumlah pemuda polos seperti Handoko yang takluk padanya sudah tidak dapat
dihitung dengan jari lagi.
Sesaat kemudian, Ardika memasuki kelab tersebut.
Dia sama sekali tidak tertarik pada dekorasi mewah Kelab Gloris. Dia langsung berjalan menghampiri Handoko.
“Handoko, kakakmu memintaku untuk menjemputmu pulang. Ayo ikut denganku.”
Begitu melihat Ardika, suasana hati Handoko langsung berubah menjadi buruk.
Dia memalingkan wajahnya tanpa menatap Ardika dan berkata, “Jangan ganggu
aku! Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa pulang sendiri!”
Ardika mengerutkan keningnya.
‘Eh? Bukankah anak ini sudah masuk universitas? Kenapa tingkah lakunya masih
kekanak–kanakan seperti ini?‘
Saat ini, Melia yang berada di samping Handoko berkata, “Tuan Ardika, namaku Melia Lukito. Hari ini adalah pertama kalinya Handoko berkunjung ke kelabku. Dia baru saja sampai di sini nggak lama. Bagaimana kalau kamu juga bersenang–senang
di sini terlebih dahulu baru membawanya pulang?”
Ardika menoleh dan menatap wanita yang memancarkan sorot mata genit seolah- olah menggoda pria setiap saat itu, lalu berkata, “Melia Lukito? Anggota keluarga tiga keluarga besar, Keluarga Lukito?”
Kemarin Jesika baru saja memberitahunya, Melia adalah salah satu di antara tiga orang yang mengambil alih Grup Susanto Raya.
Melia menganggukkan kepalanya dan berkata, “Benar, Tuan Ardika. Senang bertemu denganmu. Aku sudah lama mendengar tentangmu.”
Dia berinisiatif mengulurkan lengan rampingnya ke arah Ardika.
Ardika hanya berjabat tangan dengan wanita itu sejenak.
“Oke, kalau begitu aku akan menunggu Handoko di sini.”
Selesai berbicara, Ardika langsung duduk. Dia ingin lihat sebenarnya apa yang sedang direncanakan oleh wanita ini.
Wanita yang baru saja merebut Grup Susanto Raya dari tangan Keluarga Basagita, lalu sekarang menjalin hubungan yang dekat dengan Handoko, siapa yang percaya kalau tidak ada sesuatu di balik semua ini.
Kilatan dingin melintas di mata Melia. Material © of NôvelDrama.Org.
Melihat Ardika bersikap acuh tak acuh padanya, perasaannya benar–benar tidak
nyaman.
Biasanya, ketika pria–pria lain melihatnya, sorot mata bergairah tampak jelas di
mata mereka seolah–olah ingin melahapnya.
Karena itulah, dia sangat percaya diri dengan pesona yang dimilikinya.
Namun, Ardika malah tidak meliriknya sama sekali.
Melihat Ardika duduk di samping mereka, Handoko merasa sangat kesal. Dia
bangkit dari tempat duduknya dengan ekspresi jijik dan berkata, “Kak Melia, ayo
kita ke tempat lain saja, nggak perlu memedulikannya!”
Selesai berbicara, dia meninggalkan tempat itu dan hendak pergi ke area lain.
Tepat pada saat ini, dua orang anak muda berjalan dengan terhuyung–huyung ke
arah mereka.
Mereka sangat arogan. Tanpa memedulikan siapa Handoko, mereka langsung
`mendorongnya dan menghampiri Melia.
Salah satu di antara mereka mengulurkan lengannya dan melingkarkan lengannyà di pinggang ramping Melia, lalu memegang bokong wanita itu sejenak dan mulai
melontarkan kata–kata kurang ajar.
“Kak Melia, belakangan ini kamu latihan yoga, ya? Aku lihat bentuk bokongmu makin bagus saja. Hmm, bagaimana kalau suatu hari nanti kita mencobanya bersama?”