Bab 164
Bab 164 Aku Akan Memberimu Pelajaran Penting Kedua
“Handoko, sebagai pemilik tempat ini, bagaimana mungkin aku mengusir tamu keluar? Kita semua adalah teman, yang lalu biarlah berlalu.”
Bukan hanya tidak mengusir Devan dan Felix, Melia bahkan membujuknya untuk tidak mencari perhitungan dengan mereka.
Handoko yang masih duduk di lantai berkata dengan marah, “Tapi, mereka nggak hanya memukulku, mereka juga menghina kakakku!”
“Mereka hanya bercanda denganmu,” kata Melia. Wanita itu sama sekali tidak
menunjukkan tanda–tanda membela Handoko.
Handoko langsung membelalak kaget, dia menatap Melia dengan tatapan tidak
percaya.
‘Sebelumnya, jelas–jelas Kak Melia sangat baik padaku, kenapa sekarang dia malah berubah menjadi seperti orang asing?‘
Devan mencibir dan berkata, “Handoko, dasar pecundang! Jangan bilang kamu
berharap Kak Melia membelamu? Kami adalah anggota platinum Kelab Gloris! Kamu
pikir kamu siapa?!”
“Bagaimana kalau kamu meminta kakakmu ke sini dan membalas kami di ranjang?
Haha….”
Felix tertawa terbahak–bahak.
“Devan, Felix, dasar bajingan!”
Handoko menatap kedua orang itu dengan tatapan tajam, seolah–olah ingin
membunuh mereka.
Saat ini, tiba–tiba Ardika menyimpan ponselnya dan berjalan menghampiri mereka.
Melihat Ardika berjalan menghampiri mereka, Melia mengangkat alisnya.
‘Sepertinya Ardika mau maju untuk membela Handoko.‘
Namun, dia tidak beranggapan Ardika mampu menghadapi Devan dan Felix.
1/5
Sebaliknya, pria itu malah akan ditindas dengan lebih menyedihkan lagi.
*15 BONUS
Setelah Handoko yang diselimuti oleh kekesalan dan amarah yang membara pulang ke kediaman Keluarga Basagita dan menceritakan hal ini kepada Luna, Luna pasti
tidak bisa menahan diri lagi dan bercerai dengan Ardika.
Ini adalah tujuannya menginstruksikan Devan dan Felix untuk memprovokasi
Handoko. From NôvelDrama.Org.
“Eh? Ternyata menantu pecundang Keluarga Basagita juga berada di sini? Kenapa?
Apa kamu mau maju untuk membalas dendam adik iparmu pada kami?”
Devan dan Felix tertegun sejenak, lalu tertawa dingin sambil memasang ekspresi meremehkan. Bagi mereka, Ardika bukan apa–apa.
Ardika melirik mereka dengan sorot mata dingin. Tiba–tiba, dia melancarkan
aksinya dengan cepat.
“Plak! Plak!”
Sebelum Devan dan Felix sempat bereaksi, dua tamparan sudah melayang di wajah
mereka sampai–sampai mereka terjatuh ke lantai.
Kedua pria itu tergeletak di lantai dan kesulitan untuk bangkit dari lantai.
Menyaksikan pemandangan itu, Melia langsung tercengang.
Orang–orang yang berkerumun untuk menyaksikan pertunjukan juga tercengang.
Kenapa pria itu sekuat ini?
Semua orang tidak sempat melihat dengan jelas bagaimana dia melancarkan
aksinya, Devan dan Felix langsung tergeletak di lantai begitu saja!
Handoko juga menatap Ardika dengan tatapan kosong.
Saat ini, tiba–tiba Ardika melayangkan tamparan ke wajahnya.
Handoko mengerang kesakitan, lalu memelototi Ardika sambil memegang wajahnya
dan berkata, “Kenapa kamu memukulku?!”
Ardika berkata dengan dingin, “Dasar pecundang! Di saat kakakmu dihina dan dipermalukan oleh orang lain, kamu malah nggak berani membalas mereka.”
2/5
+15 BONUS
“Aku bukan pecundang!”
Handoko benar–benar kesal setengah mati.
Bukan hanya Devan dan Felix yang mengatainya pecundang, bahkan Ardika yang
dia pandang rendah juga mengatainya seperti itu!
“Kalau kamu ingin membuktikan dirimu bukan pecundang, patahkan kaki mereka.”
Ardika mengulurkan lengannya dan mengambil sebuah tongkat pemukul bola di
sudut tembok, lalu menyodorkannya kepada adik iparnya.
Setelah menerima tongkat pemukul bola tersebut, tangan Handoko mulai
gemetaran. Dia menatap Devan dan Felix dengan tatapan ragu.
Walaupun dua pria itu sudah tergeletak di tanah dalam kondisi tidak berdaya, tetapi
dia tetap tidak berani melakukannya.
“Ternyata memang benar kamu adalah seorang pecundang yang penakut.”
Ardika menggelengkan kepalanya dengan kecewa. Kemudian, dia mengambil
tongkat pemukul bola itu dari genggaman adik iparnya dan bersiap untuk
melakukannya sendiri.
Karena kedua orang itu sudah menghina dan mempermalukan istrinya, dia harus
mematahkan kaki mereka.
“Sudah kubilang aku bukan pecundang!”
Tiba–tiba, Handoko berteriak dengan keras, lalu merampas tongkat pemukul bola
dari genggaman Ardika dan berjalan menghampiri Devan. Dia mengayunkan
tongkat tersebut, lalu memukul lutut pria itu dengan keras.
“Krak!”
Suara tulang patah yang membuat orang bergidik ngeri terdengar dengan jelas.
Sesaat kemudian, teriakan menyedihkan Devan menggema di seluruh Kelab Gloris.
“Ah!”
Tiba–tiba, Felix juga berteriak dengan menyedihkan.
3/5
+15 BONUS
Tepat pada saat semua orang tertegun, satu kakinya juga sudah dipatahkan oleh
Handoko.
Teriakan menyedihkan kedua pria itu berpadu menjadi satu dan menggema di
seluruh Kelab Gloris.
Mendengar paduan suara menyedihkan itu, semua orang bergidik ngeri.
Sungguh menakutkan!
Melihat dua pria yang tergeletak di lantai dan sedang berteriak dengan
menyedihkan itu, Handoko merasa sangat bersemangat, seolah–olah ketakutan yang
menyelimuti hatinya sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Ardika menganggukkan kepalanya dengan puas dan berkata, “Ke depannya, kalau
ada orang yang berani menghina kakakmu lagi, kamu harus langsung menghajar orang tersebut. Nggak peduli masalahnya jadi sebesar apa, aku akan membantumu
menyelesaikannya. Apa kamu mengerti?”
“Aku sudah mengerti, Kak!”
Handoko mengepalkan tangannya dengan erat dan penuh semangat. Ini adalah pertama kalinya dia memanggil Ardika dengan sebutan Kakak.
Dia mengalihkan pandangannya ke arah Ardika. Tanpa dia sadari, sorot matanya
sudah dipenuhi pengakuan.
Hari ini, di bawah rangsangan dan dorongan kuat Ardika, akhirnya dia
menunjukkan sisi seorang pria untuk pertama kalinya.
Dulu Luna yang selalu melindunginya.
Sekarang, pada akhirnya dia juga sudah berani maju untuk melindungi kakaknya!
Handoko berdiri dengan tegak dan bangga secara refleks.
“Kak, apa aku masih seorang pecundang?”
Melihat Ardika menggelengkan kepala, sudut bibirnya sedikit terangkat ke atas.
Ardika berkata dengan dingin, “Selain kekuatan fisik, hal yang lebih penting dan
wajib dimiliki oleh seorang pria adalah memutar otak. Kamu harus belajar
4/5
membedakan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang
buruk. Sekarang aku akan memberimu pelajaran penting kedua.”
Selesai berbicara, tiba–tiba dia melayangkan sebuah tamparan ke wajah Melia.