Bab 627
Bab 627 Ardika Mencuri Barang
‘Mencuri barang?”
Volume suara Wiliam sangat tinggi.
Beberapa petinggi perusahaan yang sedang makan di ruang makan bisa mendengar ucapannya dengan jelas.
Dalam sekejap, mereka langsung melemparkan sorot mata merendahkan ke
arah Ardika.
“Plak!”
Luna langsung meletakkan alat makannya di atas meja dan bangkit dari tempat duduknya.
Kemudian, dia berkata dengan marah, “Pak Wiliam, tolong jangan menuduh orang lain sembarangan! Suamiku bukan orang seperti itu!”
Saat ini, kebetulan Cynthia juga berjalan ke arah ruang makan. Melihat
temannya tertimpa masalah, dia segera membantu Luna bicara.
“Pak Wiliam, mungkin ada kesalahpahaman. Bagaimana kalau kalian bicarakan di tempat lain dan selesaikan dengan cara kekeluargaan?”
Dia takut kalau masalah ini membesar bisa berpengaruh pada kesempatan Luna
untuk menghadiri acara lelang nanti.
Wiliam memelototi wanita itu dengan tajam.
“Apa katamu? Menyelesaikan secara kekeluargaan, ya? Oke, kalau begitu aku akan membawa mereka ke ruangan satpam dan membicarakan hal ini di sana!”
Wiliam tertawa dingin.
Sementara itu, beberapa petugas keamanan memelototi Ardika dengan tatapan
tajam.
Luna mengerutkan keningnya.
Dia tidak bodoh, tentu saja dia tahu Wiliam sengaja mencari masalah.
Kalau dia dan Ardika benar–benar mengikuti mereka ke ruangan satpam, mungkin dirinya dan Ardika yang akan dirugikan.
“Untuk apa pergi ke ruangan satpam? Jelas–jelas kami nggak bersalah, kami sama sekali nggak takut! Masalah ini diselesaikan di sini saja!” kata Luna
dengan tenang.
“Dasar nggak tahu diri! Jelas–jelas aku sudah memberi kalian kesempatan, tapi kalian sendiri yang mau mempermalukan diri sendiri di depan umum! Kalau begitu, jangan salahkan aku lagi!”
Wiliam mendengus.
Dia nggak peduli masalah ini diselesaikan di mana.
Lagi pula, Vila Bistani adalah wilayah kekuasaannya, keputusan ada di
tangannya.
“Pak Wiliam, kalau boleh tahu barang apa yang hilang?” tanya Luna dengan dingin.
“Suamimu telah mencuri barangku, di dalamnya ada berbagai berkas yang Grup Jelutong persiapkan untuk acara lelang nanti, beserta dengan kartu bank
rekening perusahaan!”
Tepat pada saat ini, seorang pria berusia tiga puluhan tahun berjalan menghampiri mereka dengan ekspresi marah.
Luna mengenal orang itu.
Xinzu Dinata, wakil presdir Grup Jelutong. Property © NôvelDrama.Org.
Karena pria itu mengatainya kemarin, pria itu ditampar oleh Ardika.
Semalam, saat berpapasan di jalan, ekspresi penuh kebencian terlihat jelas di wajah pria itu.
“Pak Xinzu, tolong keluarkan bukti yang bisa membuktikan bahwa suamiku yang telah mencuri barangmu!”
Luna sangat yakin.
Ini adalah jebakan yang telah direncanakan dengan baik.
“Kamu menginginkan bukti? Kalau begitu, aku tunjukkan bukti padamu!”
Wiliam melambaikan tangannya.
Seorang staf yang berdiri di sampingnya segera mengeluarkan sebuah tablet, lalu memutar video rekaman kamera pengawasan.
Di dalam video.
Ardika tampak berjalan di kegelapan dengan gerak–gerik yang mencurigakan.
Selain itu, saat berada di depan pintu sebuah kamar, dia terlihat menjulurkan kepalanya ke dalam.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat malam.
Karena keesokan harinya ada acara lelang, saat itu hampir semua tamu vila
sudah beristirahat.
Luna mengerutkan keningnya dan bertanya, “Ardika, setelah aku tidur semalam, kamu keluar lagi?”
“Hmm, aku berjalan–jalan satu putaran,” kata Ardika sambil menganggukkan
kepalanya.
Saat itu, dia sedang membawa ketiga preman itu ke kamar Wulan.
Di dalam rekaman video pengawasan, dia sedang berjalan menuju ke kamar Wulan dan memastikan apakah wanita itu berada di tempat atau tidak.
Begitu melihat rekaman video kamera pemantauan, Luna merasa gugup.
Dia tidak percaya Ardika pergi mencuri barang.
Namun, bukan hal yang normal kalau malam–malam begitu Ardika keluar untuk berjalan–jalan lagi. Bagaimana mereka bisa membela diri?
“Luna, apa kamu masih belum mau mengaku? Jelas–jelas suamimu muncul di depan pintu kamar Pak Xinzu!” kata Wiliam dengan dingin.
Ardika pergi ke kamar Wulan, tapi dia sengaja mengatakan bahwa kamar itu
adalah kamar Xinzu.
Lagi pula, dekorasinya sama saja, tidak bisa terlihat adanya kejanggalan.
“Suamiku nggak mencuri,” kata Luna dengan tegas.
Tepat pada saat ini, Wulan berjalan menghampiri Luna dengan ekspresi seolah dirinya sudah memenangkan permainan ini.
“Luna, suamímu pergi mencuri barang. Dia bukan mencuri uang atau barang berharga milik orang lain, melainkan secara khusus mencuri dokumen- dokumen yang disiapkan oleh perusahaan orang lain untuk berpartisipasi dalam acara lelang, Bukti sudah terpampang nyata di hadapanmu, tapi kamu masih saja nggak mengaku?”
Wulan tertawa dingin dan berkata, “Oh, apa mungkin kamu yang menginstruksikannya untuk melakukan hal itu?”
“Sebelum acara lelang dimulai, kamu menyingkirkan satu per satu lawanmu terlebih dahulu! Ya ampun! Kenapa kamu begitu keji?!” 2